KONSEP DIRI
BAB I
PENDAHULUAN
Konsep diri bukan merupakan faktor
bawaan atau herediter. Konsep diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman
individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan
tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara
berkesinambungan. Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus
sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri
mulai berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan
mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan mulai
dapat membedakan keduanya.
Lebih lanjut Cooley (dalam
Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan proses
belajar tentang nilai-nilai, sikap, peran, dan identitas dalam hubungan
interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai kelompok primer, misalnya
keluarga. Hubungan tatap muka dalam kelompok primer tersebut mampu memberikan
umpan balik kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap
dirinya. Dan dalam proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi dan
sekaligus terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu
menuju kedewasaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang
belajar dari lingkungannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsep Diri
Konsep
diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan dan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas
bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa
tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi
manusia sebagaimana yang kita harapkan.
Konsep
diri dapat digambarakan sebagai sistem operasi yang menjalankan komputer mental
yang memengaruhi kemampuan berfikir seseorang. Setelah ter-instal, konsep diri akan masuk ke pikiran bawah sadar dan akan
berpengaruh terhadap tingkat kesadaran seseorang pada suatu waktu. Semakin baim
atau positif konsep diri seseorang maka akan semakin mudah ia mencapai
keberhasilan. Sebab dengan konsep diri yang baik / positif, seseorang akan
bersifat optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses dan berani pula
gagal, penuh percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan
tujuan hidup, serta berfikir dan bersikap secara positif. Sebaliknya semakin
jelak atau negatif konsep diri maka akan semakin sulit seseorang untuk
berhasil. Sebab dengan konsep diri yang jelek / negatif akan mengakibatkan
tumbuh rasa tidak percaya diri, takut gagal sehingga tidak berani mencoba
hal-hal yang baru dan menantang, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri
tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan da perilaku inferior lainnya.
B.
Konsep
Diri dan Harga Diri
Harga
diri adalah evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara posotif atau
negatif. Evaluasi individu tersebut terlihat dari penghargaan yang ia berikan
terhadap eksistensi dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri
positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta
tidak cepat-cepat menyalahkan dirinya atas kesalahan atau ketidaksempurnaan
dirinya. Ia selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan
selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya individu
yang memiliki harga diri negatif merasa dirinya tidak berguna, tidak berharga,
dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia cenderubg
tidak percaya diri dalam melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide
yang dimilikinya (Santrock, 1998).
C.
Dimensi
Konsep Diri
Calhoun
dan acocella (1990) menyebutkan 3 dimensi utama konsep diri yaitu : demensi pengetahuan, dimensi pengharapan dan dimensi penilaian.
Pengetahuan,
dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri
sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang
diri saya. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari pandangan kita
dalam berbagai peran yang kita pegang sebagai orang tua, suami atau istri,
karyawan, pelajar dan seterusnya. Pandangan kita tentang watak kepribadian yang
kita arasakan pada diri kita, seperti jujur, setia, bersahabat, gembira, aktif
dan seterusnya. Pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita, kemepuan
yang kita miliki, kecakapan yang kita kuasai dan berbagai karakteristik lainnya
yang kita lihat melekat pada diri kita. Singkatnya dimensi pengetahuan
(kognitif) dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang
diri kita sebagai pribadi, seperti “saya pintar”, “saya cantik”, “saya anak baik”,
dan seterusnya.
Persepsi
kita tentang diri kita seringkali tidak sama dengan kenyataan adanya diri yang
sebenarnya. Penglihatan tentang diri kita hanyalah merupakan rumusan, definisi
atau versi subjektif pribadi kita tentang diri kita sendiri. Penglihatan itu
dapat sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan diri kita yang sesungguhnya.
Harapan,
dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan atau diri yang dicita-citakan
dimasa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita
sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain
tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya kita
juge mempunyai pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini merupakan
diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan.
Cita-cita
diri (self-ideal) terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan, keinginan bagi diri
kita, atau menjadi manusia seperti apa yang kita inginkan. Harapan atau
cita-cita diri akan membangkitkan kekuatan yang mendorong anda menuju masa
depan dan akan memandu aktivitas anda dalam perjalanan hidup anda. Apapun
standar diri ideal yang anda tetapkan, sadar atau tidak anda akan senantiasa
berusaha untuk dapat memenuhinya.
Penilaian,
dimensi ketiga konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita sendiri.
Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga atau kewajaran
kita sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), setiap hari kita
berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita
bertentangan : 1) pengharapan bagi diri kita sendiri (saya dapat menjadi apa),
2) standar yang kita tetapkan pada diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi
apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut dengan rasa
harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Orang yang
hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri yang menyukai
siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa penilaian akan membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance),
serta harga diri (self-asteem) seseorang.
Ketiga
demnsi konsep diri di atas bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan
satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain.
Tingkat harga diri kita dipengaruhi oleh gambaran diri: apakah diri kita
sebagaimana yang kita lihat dan cita-cita diri: diri macam apa yang kita
inginkan. Semakin lebar jurang antara gambaran diri dan cita-cita diri semakin
rendah harga diri. Sebaliknya ada kesesuaian antara gambaran diri dan cita-cita
diri, tetapi jangan sama. Bila terdapat kesamaan maka orang yang bersangkutan
akan mencapai tahap kepenuhan. Seseorang yang merasa sudah tercapai cita-cita
dirinya, tidak terdorong untuk meningkatkan diri dan meraih prestasi yang lebih
tinggi. Sebaliknya apabila terdapat jurang yang terlalu lebar antara gambaran
diri dan cita-cita diri, maka orang yang bersangkutan akan menderita “penyakit”
menolak diri (self-rejection), yang sering terjadi pada orang yang kurang sehat
secara psikologis dan tidak mampu menyesuaikan diri.
D.
Konsep
Diri dan Perilaku
Konsep
diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang.
Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermindari keseluruhan
perilakunya. Artinya perilaku individu akan
selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apakah individu
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan
tersebut. Menurtu Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep diri
dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu :
Pertama , self-concept as maintainer of inner consistency. Konsep
dirimemainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang.
Individu senantiasa berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila
individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak seimbang atau
saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak
menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah
perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian individu
dengan lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan
menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya atau
individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan
sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan lingkungannya.
Kedua, self-cencept as an interpretation of experience. Konsep diri
menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya. Seluruh
sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu
tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan
secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, karena
masing-masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri
mereka. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pendangan
dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran positif
terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap
dirinya.
Ketiga, self-concept as set of expectation. Konsep diri juga berperan
sebagai penentu pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari
konsep diri. Bahkan Mccandles sebagaimana dikutip Felker (1974) menyebutkan
bahwa konsep dir seperangkat harapan-harapan dan evaluasi terhadap perilaku
yang merujuk pada harapan-harapan tersebut. Siswa yang cemas dalam menghadapi
ujian akhir dengan mengatakan “saya sebenarnya anak bodoh, pasti saya tidak
akan mendapat niali yang baik”, sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa
yang akan terjadi dengan hasil ujiannya. Ungkapan tersebut menunjukkan
keyakinannya bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang
baik. Keyakinan tersebut mencerminkan sikap dan pandangan negatif terhadap
dirinya sendiri. Pandangan negatif terhadap dirinya menyebabkan individu
mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai hanya pada taraf yang
rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan individu bersangkutan tidak
mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti, 1988).
E.
Konsep
Diri dan Prestasi Belajar
Sejumlah
ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep diri dan prestasi
belajar mempunyai hubungan yang erat. Nyalor (1972) misalnya, mengemukakan
bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara
konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah. Siswa yang memiliki konsep diri
positif memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang
berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta
menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif pula. Mereka menentukan target
prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan
belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu diarahkan pada
kegiatan akademis. Mereka juga memperlihatkan kemandirian dalam belajar,
sehingga tidak tergantung kepada guru semata.
Konsep
diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang sangat erat.
Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda
dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan
memandang diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kurang
dapat melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga
cenderung memandang orang-orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak
dapat menerimanya.
Siswa
yang memandang dirinya negatif ini, pada gilirannya akan menganggap
keberhasilan yang dicapai bukan karena kemampuan yang dimilikinya, melainkan
lebih mereka kebetulan atau karena faktor positif, akan menganggap keberhasilan
sebagai hasil kerja keras dan karena faktor kemampuannya.
F.
Karakteristik
Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik
Konsep
diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Kita tidak dilahirkan dengan
konsep diri tertentu. Bahkan ketika kita lahir, kita tidak mamiliki konsep
diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak mamiliki penghargaan
bagi diri kita kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apa pun terhadap
diri kita sendiri.
Dengan
demikian, konsep diri terbentuk malalui proses belajar yang berlangsung sejak
masa pertumbuhan hingga dewasa. Ligkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua
turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri
seseorang. Sikap dan respons orangtua serta lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan
dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orangtua
yang suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan,
menghina, tidak berlaku adil, dan seterusnya. Ditambah dengan lingkungan yang
kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini adalah
karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang ia alami dan
dapatkan dari lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan
positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembang konsep
diri yang positif.
Karekteristik Konsep
Diri Anak Usia Sekolah
Seiring
dengan pertumbuhan dan perubahan fisik, kognitif, dan kemampuan sosial, anak
usia sekolah dasar juga mengalami perubahan dalam pandangan terhadap dirinya
sendiri.
Menurut
Santrock (1995), perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun
sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakteristik konsep
diri, yaitu (1) karakteristik internal, (2) karakteristik aspek-aspek sosial,
dan (3) karakteristik perbandingan sosial.
Karakteristik Internal.
Berbeda dengan anak-anak prasekolah, anak usia sekolah dasar lebih memahami
dirinya melalui karakteristik internal dari pada karakteristik eksternal.
Anak-anak pada masa pertenghan dan akhir lebih cenderung mendefenisikan dirinya
melalui keadaan-keadaan dalam yang subjektif dari pada melalui keadaan-keadaan
luar.
Karakteristik aspek-aspek
sosial. Selama tahun-tahun sekolah dasar, aspek-aspek sosial dari pamahaman
dirinya juga meningkat. Dalam suatu investigasi, anak-anak sekolah dasar
seringkali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan dalam deskripsi
diri mereka.
Karakteristik
perbandingan sosial. Pemahaman diri anak-anak usia sekolah
dasar juga ngeacu pada perbandingan sosial (social
camparison). Pada tahap perkembangan ini anak-anak cenderung membedakan
diri mereka dari orang lain secara komparatif dari pada secara absolut.
Karakteristik Konsep
Diri Remaja (SMP-SMA)
Ketika
anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka mengalami perkembangan yang
sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri mereka. Santrock
(1998) menyebutkan sejumlah karakteristik penting perkembangan konsep diri pada
masa remaja, yaitu :
Abstract
and idealistic. Pada masa remaja, anak-anak lebih
mungkin membuat gambaran tentang diri mereka dengan kata-kata yang abstrak dan
idealistik. Gambaran tentang konsep diri yang abstrak, misalnya dapat dilihat
dari pernyataan usia remaja 14 tahun mengenai dirinya: “saya seorang manusia.
Saya tidak dapat memutuskan sesuatu. Saya tidak tahu siapa diri saya”.
Sedangkan deskripsi idealistik dari konsep diri remaja dapat dilihat dilihat
dari pernyataan: “saya orang yang sensitif, yang sangat peduli terhadap
perasaan orang lain. Saya rasa, saya cukup cantik”. Meskipun tidak semua remaja
menggambarkan diri mereka dengan cara yang idealis, namun sebagian besar remaja
membedakan antara diri mereka yang sebenarnya dan diri yang diidamkannya.
Differentiated.
Konsep diri remaja bisa menjadi semakin terdiferensiasi (differentiated).
Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih mungkin untuk
menggambarkan dirinya sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin
terdiferensiasi. Misalnya remaja berusaha menggambarkan dirinya menggunakan
sejumlah karakteristik dalam hubungannya dengan keluarganya, atau dalam
hubungannya dengan teman sebaya, dan bahkan dalam hubungan yang romantis dengan
lawan jenisnya. Singkatnya dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mungkin
memahami bahwa dirinya memiliki diri-diri yang berbeda-beda (differentiated selves), sesuai dengan
peran atau konteks tertentu.
Contradictions
Within the Self. Setelah remaja mendeferensiasikan
dirinya ke dalam sejumlah peran dan dalam konteks yang berbeda-beda, maka
muncullah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi ini. Dalam sebuah
penelitian, Susan Harter (1986) meminta siswa kelas tujuh, sembilan dan sebelas
untuk mendeskripsikan diri mereka. Harter akhirnya menemukan bahwa terdapat
sejumlah istilah yang kontradiktif yang digunakan remaja dalam mendeskripsikan
dirinya (seperti: jelek dan menarik, mudah bosan dan ingin tahu, peduli dan tak
peduli, tertutup dan suka bersenang-senang) meningkat secara dramatis antara
kelas tujuh dan kelas sebelas, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan
dengan siswa kelas tujuh.
The
Fluctiating Self. Sifat yang kontrdiktif dalam diri
remaja pada gilirannya memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan
lintas waktu yang tidak mengejutkan. Seorang peneliti menjelaskan sifat
fluktuasi dari diri remaja tersebut dengan metafora “the barometric self” (diri barometrik). Diri remaja akan terus
memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja berhasil membentuk
tori mengenai diriny yng lebih utuh, dan biasanya tiak terjadi hingga masa
remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa awal.
Real
and Ideal, True and False Selves. Munculya kemampuan
remaja untuk mengkonstruksikan diri ideal mereka di samping diri yang
sebenarnya, merupakan sesuatu yang membingungkan bagi remaja tersebut.
Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara diri yang nyata (real self)
dengan diri yang ideal (ideal self) menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
kognitif mereka. Tetapi, Carl Rogers yakin bahwa adanya perbedaan yang terlalu
jauh antara diri yang nyata dengan diri ideal menunjukkan ketidakmampuan remaja
untuk menyesuaikan diri.
Dari
sudut pandang yang berbeda, ahli lain melihat adanya suatu aspek penting dari
diri ideal atau diri yang diimajinasikan, yaitu apa yang disebut dengan possible self – diri yang mungkin dapat
menjadi kenyataan, diri yang mereka inginkan, dan diri yang mereka takutkan
akan menjadi kenyataan. Berdasarkan pandangan ini, adanya suatu hal yang
diharapkan dan yang ditakutkan merupakan fenomena yang sehat secara psikologis,
karena akan memberikan keseimbangan antara diri positif yang diharapkan dengan
diri negatif yang ditakuti. Sifat dari diri positif di masa depan (seperti
berhasil masuk universitas terkenal, dikagumi orang, sukses dalam karir) dapat
mengarahkan remaja pada keadaan positif di masa mendatang. Sedangkan sifat dari
diri negatif di masa depan (sepert: gagal masuk universitas negeri, menjadi
pengangguran, kesepian) dapat diidentifikasikan sebagai hal-hal yang harus
dihindari di masa mendatang.
Social
Comparison. Sejumlah ahli perkembangan percaya
bahwa, dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih sering menggunakan social
comparison (perbandingan sosial) untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Namun
kesediaan remaja untuk mengakui bahwa mereka menggunakan perbandingan sosial
untuk mengevaluasi diri mereka sendiri cenderung menurun pada masa remaja, karena
menurut mereka perbandingan sosial itu tidaklah diinginkan. Menurut remaja
terungkapnya motif perbandingan sosial mereka akan membahayakan popularitas
mereka. Demikian juga informasi perbandingan sosial di masa remaja dapat
menimbulkn kebingungan karena banyaknya kelompok referensi.
Self-Conscious.
Karakteristik lain dari konsep diri remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan
dirinya (self-conscious) dibandingkan dengan anak-anak dan lebih memikirkan
tentang pemahaman diri mereka. Remaja menjadi lebih introspeksi, yang mana hal
ini merupakan bagian dari kesadaran diri mereka dan bagian dari eksplorasi
diri. Namun introspeksi tidak selalu terjadi ketika remaja berada dalam keadaan
isolasi sosial. Remaja kadang-kadang meminta dukungan dan penjelasan dari
teman-temannya, memperoleh opini teman-temannya mengenai definisi diri yang
baru muncul.
Self-Protective.
Mekanisme untuk mempertahankan diri (self-protective) merupakan salah satu
aspek dari konsep diri remaja. Meskipun remaja sering menunjukkan adanya kebingungan
dan konflik yang muncul akibat adanya usaha-usaha introspeksi untuk memahami
dirinya, remaja ternyata juga memiliki mekanisme untuk melindungi dan
mengembangkan dirinya. Dlam upaya melindungi dirinya, remaja cenderung menolak
adanya karakteristik negatif dalam diri mereka. Gambaran diri yang positif
seperti menarik, suka bersenang-senang, sensitif, penuh kasih sayang, ingin
tahu, lebih sering disebutkan sebagai bagian inti dari diri remaja yang
penting. Sedangkan gambaran diri yang negatif seperti jelak, sedang-sedang
saja, depresi, egois dan gugup lebih disebutkan sebagai bagian pinggir.
Unconscious.
Konsep diri remaja melibatkan adanya pengenalan bahwa komponen yang tidak
disadari (unconscious) termasuk dalam dirinya, sama seperti komponen yang
disadari (conscious). Pengenalan seperti ini tidak muncul himgga masa remaja
akhir. Artinya remaja yang lebih tua yakin akan adanya aspek-aspek tertentu
dari pengalaman mental diri mereka yang berada di luar kesadaran atau kontrol
mereka dibandingkan dengan remaja yang lebih mudah.
Sekf-Integration.
Terutama pada masa remaja akhir, konsep diri menajdai lebih terintegrasi,
dimana bagian yang berbeda-beda dari diri secara sistematik menjadi satu
kesatuan. Remaja yang lebih tua, lebih mampu mendeteksi adanya ketidakkonsistenan
dalam gambaran diri mereka pada masa sebelumnya ketika ia berusaha untuk
mengkonstruksikan teori mengenai diri secara umum, atau suatu pemikiran yang
terintegrasi dari identitas. Ketika remaja membentuk sejumlah konsep diri,
tugas untuk mengintegrasikan berbagai konsep diri ini menjadi suatu masalah.
Pada saat yang sama, ketika remaja menghadapi tekanan untuk membagi-bagi diri
menjadi sejumlah peran, muncullah pemikiran formal operasional yang mendorong
proses integrasi dan perkembangan dari suatu teori diri yang konsisten dan
koheren.
McDevitt
dan Ormrod (2002) mencatat dua fenomena yang menonjol dalam perkembangan konsep
diri pada masa remaja awal (10-14 tahun). Pertam,
kebanyakan anak-anak remaja awal percaya bahwa dalam suatu situasi sosial,
dirinya menjadi pusat perhatian dari orang lain. Aspek egosentris
(self-centered) dari konsep diri remaja ini disebut dengan istilah imaginary audience, yaitu keyakinan
remaja bahwa orang lain memiliki perhatian yang sangat besar terhadap dirinya, sebesar
perhatianmereka sendiri. Gejala imajinary audience ini mencakup berbagai
perilaku untuk mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya diperhatikan,
disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Kedua, fenomena penting lainnya dalam perkembangan konsep diri
remaja awal adalah personal fable, yaitu perasaan akan adanya keunikan pribadi
yang dimilikinya. Anak-anak remaja awal sering percaya bahwa dirinya berbeda
dengan orang lain. Mereka sering berfikir bahwa orang-orang di sekitar mereka
tidak pernah merasakan apa yang ia alami.
G.
Implikasi
Perkembangan Konsep Diri peserta Didik
terhadap Pendidikan
1. Membuat siswa merasa mendapat
dukungan dari guru. Dalam mengembangkan konsep diri yang
positif, siswa perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru ini dapat
ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian,
umpan balik dan dapat pula dukungan berupa penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif
terhadap siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan siswa dan perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lain.
Bentuk dukungan ini memungkinkan siswa untuk membangun perasaan memiliki harga
diri, memiliki kemampuan atau kompeten dan berarti.
2. Membuat siswa merasa bertanggung
jawab. Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat
keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk
memberi tanggung jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap
positif siswa terhadap diri sendiri, yang diwujudkan dengan usaha pencapaian
prestasi belajar yang tinggi serta peningkatan integritas dalam menghadapi
tekanan sosial.
3. Membuat siswa merasa mampu.
Ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan pandangan yang positif
terhadap kemampuan yang dimiliki siswa. Guru harus berpandangan bahwa semua
siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum dikembangkan.
Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka siswa
juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya.
4. Mengarahkan siswa untuk mencapai
tujuan yang realistis. Dalam upaya meningkatkan konsep diri
siswa, guru harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan siswa yang hendak
dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Penetapan tujuan yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu
pada pencapaian prestasi di masa lampau, maka pencapaian prestasi sudah dapat
diramalkan, sehingga siswa akan terbantu untuk bersikap positif terhadap
kemampuan dirinya sendiri.
5. Membantu siswa menilai diri mereka
secara realistis. Pada saat mengalami kegagalan,
adakalanya siswa menilainya secara negatif, dengan memandang dirinya sebagai
orang yang tidak mampu. Untuk menghindari penilaian yang negatif dari siswa
tersebut, guru perlu membantu siswa menilai prestasi mereka secara realistis,
yang membantu rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas
sekolah dan meningkatkan prestasi belajar di kemudian hari. Salah satu cara
membantu siswa manilai diri mereka secara realistis adalah dengan membandingkan
prestasi siswa pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini. Hal ini pada
gilirannya dapat membangkitkan motivasi, minat, dan sikap siswa terhadap
seluruh tugas di sekolah.
6. Mendorong siswa agar bangga dengan
dirinya secara realistis. Upaya lain yang harus dilakukan
guru dalam membantu mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan
memberikan dorongan kepada siswa agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya.
Ini adalah penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang dicapai merupakan
salah satu kunci untuk menjadi lebih positif dalam memandang kemampuan yang
dimilikinya.
BAB III
PENUTUP
Individu mengembangkan konsep
dirinya dengan cara menginternalisasikan persepsi orang-orang terdekat dalam
memandang dirinya. Jika individu memperoleh perlakuan yang penuh kasih sayang
maka individu akan menyukai dirinya. Seseorang akan menyukai dirinya jika orang
tua memperlihatkan penilaian yang positif terhadap si individu. Ungkapan
seperti “Anakku pintar” membuat anak memandang dirinya secara positif
dibandingkan dengan nama panggilan “Si pesek”. Sebaliknya, jika individu
mendapatkan hukuman dan situasi yang tidak menyenangkan maka individu akan
merasa tidak senang pada dirinya sendiri.
Pada masa remaja, individu mulai
menilai kembali berbagai kategori yang telah terbentuk sebelumnya dan konsep
dirinya menjadi semakin abstrak. Penilaian kembali pandangan dan nilai-nilai
ini sesuai dengan dengan tahap perkembangan kognitif yang sedang remaja, dari
pemikiran yang bersifat konkrit menjadi lebih abstrak dan subjektif. Piaget
mengatakan bahwa remaja sedang berada pada tahap formal operasional, individu
belajar untuk berpikir abstrak, menyusun hipotesis, mempertimbangkan
alternatif, konsekuensi, dan instropeksi (Fuhrmann, 1990).
Perkembangan kognitif yang terjadi
selama masa remaja membuat individu melihat dirinya dengan pemahaman yang
berbeda. Kapasitas kognitif seperti itu didapatkan selama melakukan pengamatan
terhadap perubahan-perubahan yang dipahami sebagai perubahan diri yang
disebabkan oleh perubahan fisik secara kompleks dan perubahan sistem sosial.
Fuhrmann (1990) mengungkapkan bahwa pada masa ini individu mulai dapat melihat
siapa dirinya, ingin menjadi seperti apa, bagaimana orang lain menilainya, dan
bagaimana mereka menilai peran yang mereka jalani sebagai identitas diri.
Bisa dikatakan bahwa salah tugas
penting yang harus dilakukan remaja adalah mengembangkan persepsi identitas
untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan “Siapakah saya ?” dan “Mau jadi apa
saya ?”. Tugas ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1973) bahwa pada masa remaja
konsep diri merupakan inti dari kepribadian dan sangat mempengaruhi proses
perkembangan selanjutnya.
Perjalanan untuk pencarian identitas
diri tersebut bukan merupakan proses yang langsung jadi, melainkan sebuah
proses berkesinambungan. Konsep diri mulai terbentuk sejak masa bayi di saat
individu mulai menyadari keberadaan fisiknya sampai ketika mati di saat
individu sudah banyak memahami dirinya, baik secara fisik maupun psikologis.
Kesimpulannya, konsep diri yang
berupa totalitas persepsi, pengharapan, dan penilaian seseorang terhadap
dirinya sendiri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap,
peran, dan identitas yang berlangsung seiring tugas perkembangan yang diemban.
Komentar
Posting Komentar